Frasa “Penyang Hinje Simpei” berasal dari bahasa Dayak Sangiang, yang merupakan bahasa Dayak yang dianggap paling halus. Bahasa Dayak Sangiang sendiri digunakan oleh suku Dayak yang mendiami wilayah pedalaman di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
Frasa tersebut kemudian diresmikan menjadi semboyan atau motto Kabupaten Katingan pada tahun 2003 oleh Bupati Katingan saat itu, Tjilik Riwut. Pemilihan frasa ini sebagai motto Kabupaten Katingan dilatarbelakangi oleh makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
Secara harfiah, makna frasa “Penyang Hinje Simpei” adalah:
- Penyang = Berpikir
- Hinje = Baik-baik
- Simpei = Hati-hati
Jadi secara keseluruhan berarti “Berpikir baik-baik dan hati-hati”.
Makna ini melambangkan semangat masyarakat Kabupaten Katingan yang selalu berpikir matang, bijaksana, dan penuh kehati-hatian dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Makna Filosofis Penyang Hinje Simpei
Meski terdiri dari tiga kata sederhana, frasa “Penyang Hinje Simpei” mengandung makna filosofis yang mendalam bagi masyarakat Kabupaten Katingan.
Frasa ini mengajarkan nilai-nilai bijaksana dalam menjalani kehidupan, di antaranya:
1. Berpikir sebelum bertindak
Kata “penyang” yang berarti berpikir mengandung arti bahwa setiap tindakan harus didahului dengan pemikiran matang. Jangan gegabah dalam mengambil keputusan agar tidak menyesal di kemudian hari. Pikirkan baik-baik konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil.
2. Selalu positif thinking
Kata “hinje” yang berarti baik-baik mengajarkan untuk selalu berpikiran positif dalam menjalani hidup. Jangan pesimistis, selalu pandang permasalahan dari sisi yang baik dan yakin bahwa semua pasti ada jalan keluarnya.
3. Bijaksana dan waspada
Kata “simpei” yang bermakna hati-hati mengandung arti pentingnya sikap bijaksana dan waspada. Meski berpikiran positif, tetap perlu menjaga diri dari hal-hal yang merugikan dengan bersikap hati-hati. Jangan lengah dan selalu waspada.
Dengan menerapkan nilai-nilai filosofis ini, masyarakat Kabupaten Katingan diharapkan dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tanah kelahirannya.
Penyang Hinje Simpei sebagai Model Bimbingan Konseling
Berkat makna filosofisnya yang mendalam, frasa “Penyang Hinje Simpei” kemudian dijadikan sebagai landasan model bimbingan dan konseling klasikal yang dikembangkan untuk mencegah kekerasan terhadap anak di sekolah menengah.
Model ini diberi nama “Classical Guidance Modeling for Penyang Hinje Simpei”. Model bimbingan dan konseling klasikal Penyang Hinje Simpei ini pertama kali dikembangkan pada tahun 2020 oleh Ibu MAS Karyanti dkk dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya.
Model ini melihat bahwa konselor adalah orang yang kreatif dan dapat memfasilitasi siswa untuk menjadi kreatif dalam menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu konselor perlu menerapkan pendekatan humanistik dan teknik konseling yang tepat agar mampu membimbing siswa menjadi pribadi yang bijaksana seperti nilai-nilai yang terkandung dalam Penyang Hinje Simpei.
Beberapa teknik konseling yang diterapkan dalam model ini antara lain teknik bermain peran (role playing), diskusi kelompok, dan penulisan ekspresif (expresive writing). Harapannya model bimbingan dan konseling klasikal Penyang Hinje Simpei ini dapat memberdayakan siswa untuk menjadi pribadi yang bijaksana dan mampu mencegah perilaku kekerasan di sekolah.
Penyang Hinje Simpei sebagai Semangat Persatuan
Meski awalnya dimaknai sebagai “Hidup Rukun dan Damai”, beberapa pihak kemudian mengartikan frasa Penyang Hinje Simpei sebagai semangat persatuan dan kesatuan.
Hal ini disampaikan oleh Tengang D Halip, yang mengklaim sebagai pemegang hak cipta atas motto Kabupaten Katingan tersebut. Menurut penuturannya, frasa “Penyang Hinje Simpei” seharusnya dimaknai sebagai semangat persatuan dan kesatuan, bukan hidup rukun dan damai.
Pendapat ini kemudian menimbulkan perdebatan di masyarakat Katingan mengenai makna yang paling tepat dari frasa ikonik daerahnya ini. Sebagian masyarakat setuju bahwa Penyang Hinje Simpei melambangkan semangat persatuan kesatuan seluruh elemen masyarakat Katingan.
Sementara sebagian yang lain tetap memaknai Penyang Hinje Simpei sesuai makna harfiahnya, yaitu hidup rukun dan damai. Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa frasa ini memiliki makna yang cukup luas, yang dapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
Pelestarian Budaya Melalui Festival Penyang Hinje Simpei
Guna melestarikan semangat persatuan sekaligus kekayaan budaya lokal, Pemerintah Kabupaten Katingan rutin menggelar Festival Budaya Penyang Hinje Simpei setiap tahunnya. Festival ini biasanya bertepatan dengan perayaan HUT Kabupaten Katingan.
Melalui festival ini, beragam kesenian dan kebudayaan khas Suku Dayak dipertunjukkan, seperti tarian daerah, nyanyian daerah, pencak silat tradisional, dan masih banyak lagi. Tujuannya untuk memperkenalkan kebudayaan lokal Katingan kepada generasi muda.
Festival Penyang Hinje Simpei diharapkan dapat menjadi wadah pelestarian budaya daerah di tengah gencarnya pengaruh budaya asing akibat globalisasi. Dengan demikian, semangat persatuan dan keragaman budaya Katingan dapat terus terjaga dan dilestarikan untuk generasi penerus bangsa.
Itulah ulasan panjang lebar mengenai asal usul dan makna filosofis frasa “Penyang Hinje Simpei” yang kini menjadi motto Kabupaten Katingan. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan kita tentang kekayaan budaya lokal tanah air, khususnya di Kalimantan Tengah.