Indonesia sejak awal kemerdekaannya telah menganut sistem demokrasi. Hal ini tercermin dalam sila keempat Pancasila yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sistem demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Pada era reformasi, demokrasi Indonesia mengalami kemajuan dengan makin terbukanya ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan kontrol terhadap pemerintah.
Namun, belakangan ini muncul keprihatinan terkait cara menyampaikan kritik yang kerap kali menggunakan bahasa yang kasar dan caci maki. Tentu saja hal ini perlu mendapat perhatian semua pihak agar demokrasi Indonesia tetap on the right track menuju cita-cita negara demokratis yang sejahtera.
Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Sejarah demokrasi di Indonesia dapat ditelusuri sejak proklamasi kemerdekaan pada 1945. Pada masa itu Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer. Kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen, sementara presiden bertindak sebagai kepala negara.
Pada 1950, Indonesia mengganti UUD 1945 dengan UUD RIS yang lebih liberal dan demokratis. Namun, kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan kembalinya UUD 1945 pada 1959 beserta sistem demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno.
Setelah rezim Soekarno digantikan Soeharto, demokrasi Pancasila menjadi ideologi negara. Meski demokrasi Pancasila memberi penekanan pada musyawarah, pada praktiknya rezim Orde Baru menerapkan demokrasi semu dengan dominasi militer dan Golkar di pemerintahan.
Reformasi 1998 menandai babak baru demokrasi Indonesia. Amandemen UUD 1945 memberikan jaminan hak-hak demokrasi rakyat. Pemilu dan pemilukada digelar secara reguler. Kebebasan berpendapat dan berserikat juga makin terbuka.
Perkembangan Kritik dan Budaya Politik di Indonesia
Seiring perkembangan demokrasi, ruang bagi rakyat untuk menyampaikan kritik makin terbuka. Sayangnya, seringkali kritik disampaikan dengan cara yang kurang santun bahkan caci maki.
Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya kritik kasar antara lain:
- Rendahnya pendidikan politik sebagian masyarakat Indonesia
- Pengaruh media sosial yang memudahkan penyebaran ujaran kebencian
- Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang melahirkan kekecewaan sebagian kelompok
- Budaya patriarki dan senioritas yang masih kental di masyarakat
Kritik pedas terhadap pemerintah kerap hadir dari kalangan artis, selebriti, dan influencer yang kurang memiliki pemahaman politik memadai. Sayangnya, suara-suara mereka kerap kali mendominasi wacana publik dan menggeser suara-suara moderat.
Dampak Penggunaan Bahasa Kasar dalam Kritik
Penggunaan bahasa kasar dan caci maki dalam menyampaikan kritik tentu saja berdampak negatif, antara lain:
- Mereduksi kualitas diskursus publik yang seharusnya rasional dan mendidik
- Meningkatkan polarisasi sosial dan politik di masyarakat
- Memicu konflik dan kekerasan baik secara fisik maupun verbal
- Mengikis toleransi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap demokrasi
- Memberi contoh buruk bagi generasi muda yang belum matang secara politik
Kritik seharusnya disampaikan dengan cara yang santun dan beretika untuk menjaga martabat semua pihak yang terlibat dalam diskusi. Caci maki dan ujaran kebencian hanya akan memperuncing konflik tanpa memberi solusi.
Perlunya Pendidikan Politik dan Etika Berdemokrasi
Untuk mengatasi maraknya kritik kasar dalam demokrasi Indonesia, diperlukan upaya pendidikan politik dan penanaman etika berdemokrasi sejak dini kepada generasi muda. Beberapa hal yang perlu ditekankan antara lain:
- Pemahaman bahwa demokrasi membutuhkan keterlibatan warga negara yang cerdas, rasional, dan penuh tanggung jawab.
- Kemampuan menyampaikan kritik dan aspirasi dengan cara-cara yang santun, beretika, tidak provokatif, dan mendidik.
- Kesadaran bahwa kemajemukan pandangan adalah keniscayaan dalam demokrasi yang harus dihargai, bukan dijadikan alasan perpecahan.
- Penghargaan terhadap martabat setiap orang meskipun memiliki pandangan yang berbeda.
- Pemahaman bahwa tujuan kritik adalah untuk memperbaiki dan memajukan bangsa, bukan sekadar melampiaskan emosi atau kekecewaan.
Jika nilai-nilai tersebut tertanam sejak dini, diharapkan kualitas diskursus dan etika demokrasi Indonesia akan meningkat. Rakyat Indonesia yang cerdas dan rasional tentu akan sanggup menyampaikan kritik yang membangun tanpa harus menggunakan caci maki yang merendahkan martabat.
Penutup
Demokrasi Indonesia memang telah mengalami kemajuan pasca reformasi 1998. Namun, tantangan besar masih dihadapi terkait budaya kritik yang kerap kali berujung pada caci maki dan ujaran kebencian.
Oleh karena itu, pendidikan politik dan penanaman etika berdemokrasi mutlak diperlukan. Dengan demikian, kritik yang disampaikan rakyat dapat menjadi masukan konstruktif bagi perbaikan dan kemajuan Indonesia. Harapannya, demokrasi Indonesia bisa terus berkembang menuju tatanan masyarakat madani yang cerdas, rasional, dan saling menghargai kemajemukan.