Pernahkah kamu merasa kecewa setelah membeli suatu produk atau menggunakan layanan jasa tertentu? Mungkin produk yang kamu terima tidak sesuai ekspektasi, atau pelayanan yang diberikan sungguh mengecewakan. Sebagai konsumen, wajar jika kita berharap mendapatkan value terbaik untuk setiap uang yang dikeluarkan. Tapi apa yang sebaiknya dilakukan jika realitanya tidak sesuai harapan?
Menyampaikan Keluhan Langsung ke Perusahaan
Hal pertama yang biasanya dilakukan oleh pelanggan yang kecewa adalah menyampaikan keluhan atau komplain secara langsung ke perusahaan terkait. Entah melalui customer service, call center, email, atau bahkan mendatangi langsung toko atau kantor mereka. Intinya, pelanggan ingin agar masalahnya didengar dan mendapatkan solusi yang memuaskan.
Contohnya, saat kamu menerima paket produk yang ternyata rusak atau cacat, hal logis yang akan kamu lakukan adalah menghubungi penjual atau customer service untuk meminta penukaran produk atau pengembalian uang. Kamu berharap mereka bisa bertanggung jawab dan menyelesaikan masalah dengan profesional.
Menyebarkan Word of Mouth Negatif
Selain menyampaikan keluhan langsung, pelanggan yang tidak puas juga cenderung akan menceritakan pengalaman buruknya kepada orang-orang terdekat, seperti keluarga, teman, atau rekan kerja. Mereka akan dengan “senang hati” menyebarkan ulasan negatif dari mulut ke mulut, sebagai bentuk peringatan atau untuk sekedar melampiaskan kekesalan.
Misal, setelah mendapat pelayanan yang buruk di sebuah restoran, kita mungkin akan bercerita ke teman-teman agar mereka tidak makan di sana. Atau setelah dikecewakan oleh jasa pengiriman yang tidak tepat waktu, kita akan mengeluh ke rekan-rekan kantor agar mereka tidak menggunakan jasa ekspedisi yang sama.
Efek word of mouth ini tidak bisa diremehkan. Orang cenderung lebih percaya pada ulasan dari orang yang mereka kenal dibanding iklan atau janji perusahaan. Bayangkan jika satu orang kecewa, lalu ia menyebarkannya ke 10 orang lain. Lalu 10 orang itu menyebarkannya lagi ke 10 orang lainnya. Efek domino negatif bisa dengan cepat menyebar.
Membagikan Review Negatif di Media Sosial dan Platform Online
Di era serba digital saat ini, konsumen yang tidak puas bisa dengan mudah “menyuarakan” kekecewaannya di media sosial pribadi atau platform review seperti Google Review, TripAdvisor, Zomato, dsb. Hanya dengan beberapa klik, mereka bisa membagikan ulasan negatif yang bisa dibaca oleh ribuan atau jutaan orang.
Contohnya, seorang pembeli online yang menerima produk tidak sesuai pesanan akan dengan mudah membagikan kekecewaannya di Twitter atau Facebook, lengkap dengan foto produk yang salah dan mention akun si penjual. Atau seorang pasien yang merasa tidak puas dengan pelayanan sebuah klinik akan menuliskan pengalaman negatifnya di Google Review.
Review online ini bisa menjadi “pintu masuk” bagi calon pelanggan. Sebelum memutuskan membeli, mereka biasanya akan mencari tahu ulasan atau testimoni dari pembeli sebelumnya. Nah, jika yang mereka temukan adalah review-review negatif, bisa jadi mereka langsung mengurungkan niat dan beralih ke kompetitor.
Beralih ke Kompetitor
Bicara soal kompetitor, pelanggan yang kapok dan kecewa kemungkinan besar tidak akan membeli lagi dari brand atau perusahaan yang sama. Mereka akan mencari alternatif lain dan beralih ke pesaing yang dirasa bisa memberikan produk atau layanan yang lebih oke.
Contohnya, seorang pelanggan yang kecewa dengan layanan suatu maskapai penerbangan, mungkin akan memutuskan untuk selalu terbang dengan maskapai lain untuk perjalanan-perjalanan selanjutnya. Atau seorang konsumen yang merasa dibohongi oleh iklan suatu produk, akan mencari produk pengganti dari merek berbeda.
Keputusan untuk “move on” ini bisa didasari oleh pengalaman pribadi yang buruk, atau bisa juga karena terpengaruh ulasan negatif dari orang lain. Pokoknya, sekali konsumen merasa dikecewakan, akan sulit bagi brand untuk mendapatkan kepercayaan dan loyalitas mereka kembali.
Mengambil Tindakan Hukum
Nah, ini mungkin pilihan paling ekstrem yang diambil konsumen saat kekecewaannya sudah memuncak dan tidak mendapatkan respon yang memuaskan dari perusahaan. Apalagi jika masalahnya cukup serius dan merugikan, seperti produk yang membahayakan kesehatan atau penipuan skala besar.
Langkah hukum yang diambil bisa bermacam-macam, mulai dari mengirim somasi, menuntut ganti rugi, melaporkan ke lembaga perlindungan konsumen, hingga membawa kasus ke ranah pengadilan. Tentunya ini akan menjadi “mimpi buruk” bagi perusahaan karena bisa merusak reputasi sekaligus menguras waktu, tenaga, dan biaya.
Contoh nyatanya, kasus konsumen yang dirugikan oleh produk kecantikan berbahaya, lalu melaporkan perusahaan tersebut ke BPOM dan menuntut melalui jalur hukum. Atau kasus penumpang pesawat yang membawa maskapai ke pengadilan karena keterlambatan penerbangan yang merugikan.
Kesimpulan
Jadi, apa sih hikmah yang bisa dipetik dari pembahasan kita kali ini? Intinya, ketidakpuasan pelanggan itu ibarat “bom waktu” yang bisa meledak dan memporak-porandakan bisnis jika tidak ditangani dengan baik.
Pelanggan yang kecewa bisa melampiaskannya dengan berbagai cara, mulai dari menyampaikan keluhan, menyebarkan ulasan negatif, sampai beralih ke kompetitor. Bahkan dalam kasus ekstrim, mereka bisa mengambil jalur hukum yang repot dan berabe.
Makanya, bagi para pebisnis, penting banget untuk selalu menjaga kepuasan pelanggan. Pastikan produk dan layanan yang diberikan sesuai dengan yang dijanjikan. Dengarkan dan respon keluhan mereka dengan cepat dan profesional. Jangan sampai kekecewaan satu orang menyebar dan merusak reputasi yang susah payah dibangun.
Sebagai konsumen, kita juga harus cerdas dalam menyuarakan ketidakpuasan. Sampaikan keluhan secara santun dan konstruktif. Cari tahu dulu kebijakan dan prosedur komplain dari perusahaan. Jangan asal “bully” atau menyebarkan fitnah yang belum tentu kebenarannya.
Intinya, baik pebisnis maupun konsumen, sama-sama punya tanggung jawab untuk menjaga hubungan yang sehat dan saling menguntungkan. Dengan komunikasi yang baik dan win-win solution, niscaya masalah kepuasan pelanggan bisa diselesaikan dengan elegan.