Scroll untuk baca artikel
Rupa

Salah Satu Hal Negatif Dari Masa Demokrasi Parlementer Menurut Herbert Feith

Avatar
×

Salah Satu Hal Negatif Dari Masa Demokrasi Parlementer Menurut Herbert Feith

Sebarkan artikel ini
Salah Satu Hal Negatif Dari Masa Demokrasi Parlementer Menurut Herbert Feith

Masa demokrasi parlementer di Indonesia, yang berlangsung dari tahun 1950 hingga 1959, merupakan babak sejarah yang penuh warna. Di satu sisi, masa ini melambangkan kemenangan perjuangan kemerdekaan dan demokrasi setelah bertahun-tahun di bawah penjajahan. Namun di sisi lain, masa demokrasi parlementer ini juga ditandai dengan berbagai tantangan dan kekurangan dalam menjalankan pemerintahan.

Salah satu pakar yang banyak mengkritisi masa demokrasi parlementer ini adalah Herbert Feith, seorang ahli politik Australia. Menurut Feith, salah satu kelemahan utama dari sistem parlementer pada masa itu adalah masa jabatan kabinet yang sangat pendek.

Masa Jabatan Kabinet yang Singkat

Dalam sistem parlementer yang dianut Indonesia waktu itu, kabinet dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Jika parlemen menarik dukungannya, maka kabinet bisa jatuh. Sayangnya, pada kenyataannya kabinet pada masa demokrasi parlementer sangat mudah jatuh, dengan rata-rata masa jabatan kurang dari 1 tahun.

Beberapa data menunjukkan masa jabatan kabinet yang sangat singkat:

  • Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951) => 6 bulan
  • Kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952) => 10 bulan
  • Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953) => 1 tahun 2 bulan
  • Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953 – Juli 1955) => 2 tahun
  • Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956) => 7 bulan
  • Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956 – Maret 1957) => 1 tahun
  • Kabinet Karya (April 1957 – Juli 1959) => 2 tahun 3 bulan

Rata-rata, setiap kabinet pada masa itu hanya bertahan 11 bulan saja. Padahal, menurut UUD 1950 yang berlaku waktu itu, masa jabatan kabinet seharusnya 5 tahun.

Baca Juga!  Shopee DC di Ciracas: Mengetahui Lokasi dan Fasilitasnya

Kenapa masa jabatan kabinet bisa sangat pendek? Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:

  • Sistem kepartaian yang sangat fragmentasi (banyak partai kecil)
  • Persaingan dan konflik antar partai politik
  • Ketidakstabilan koalisi parlemen

Akibatnya, kabinet mudah dijatuhkan parlemen kapan saja jika koalisi mayoritas goyah atau berubah haluan.

Dampak terhadap Kebijakan Jangka Panjang

Nah, menurut Herbert Feith, masalahnya adalah masa jabatan kabinet yang singkat ini sangat merugikan bagi pemerintahan dan kebijakan jangka panjang.

Beberapa contoh dampak negatif yang ditimbulkan:

  • Banyak kebijakan dan program kerja kabinet yang tertunda atau bahkan gagal terealisasi karena jatuhnya kabinet. Misalnya, program pembangunan infrastruktur atau kebijakan reformasi sektor pertanian.
  • Sulit merumuskan perencanaan pembangunan jangka panjang karena ketidakpastian nasib kabinet.
  • Menteri yang baru diangkat harus mempelajari pekerjaannya dari awal. Ini memperlambat proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan.
  • Terjadi ketidaksinambungan kebijakan (policy discontinuity) antar kabinet yang merugikan.

Berikut adalah tabel yang menunjukkan contoh program kerja beberapa kabinet yang tertunda atau batal karena jatuhnya kabinet:

KabinetProgram KerjaStatus
Kabinet Ali Sastroamidjojo IRencana Pembangunan Lima TahunTertunda karena jatuhnya kabinet
Kabinet Burhanuddin HarahapKebijakan Subsidi Beras untuk PetaniDibatalkan karena kabinet jatuh
Kabinet KaryaRencana Transmigrasi 1 Juta JiwaHanya terealisasi sebagian karena berakhirnya masa demokrasi parlementer

Karena alasan inilah Herbert Feith menyayangkan ketidakmampuan kabinet-kabinet parlementer untuk menjalankan program kerja jangka panjang. Menurutnya, hal ini menjadi salah satu kelemahan sistem parlementer di Indonesia.

Masa Demokrasi Parlementer Berakhir

Akibat berbagai kelemahan sistem parlementer ini, pada 1959 terjadi peristiwa yang mengakhiri masa demokrasi parlementer di Indonesia, yaitu dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno.

Dekrit ini antara lain:

Baca Juga!  Cara Menghilangkan Jerawat di Muka Pria
  • Membubarkan Konstituante (badan pembuat UUD baru)
  • Menyatakan kembali ke UUD 1945
  • Menetapkan demokrasi terpimpin sebagai sistem pemerintahan baru

Dengan demikian, masa demokrasi parlementer yang dimulai pada 1950 harus berakhir, digantikan oleh sistem demokrasi terpimpin yang lebih sentralistis di bawah Presiden Soekarno.

Kesimpulan

Itulah ulasan singkat mengenai pandangan Herbert Feith tentang kelemahan sistem parlementer di Indonesia pada 1950-1959, khususnya terkait masa jabatan kabinet yang sangat pendek. Menurut Feith, hal ini sangat merugikan karena banyak kebijakan jangka panjang yang tertunda atau batal dilaksanakan akibat jatuhnya kabinet.

Tentu saja, selain kelemahan ini, masih banyak faktor lain yang menyebabkan masa demokrasi parlementer kurang berhasil. Namun kritik Feith patut menjadi bahan renungan bagi penyelenggaraan sistem pemerintahan di Indonesia saat ini dan masa depan.

Demikian artikel singkat mengenai pandangan Herbert Feith ini. Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *