Scroll untuk baca artikel
Komunikasi

Ironi Etika Pejabat di Era Digital: Regulasi vs Realita

Avatar
×

Ironi Etika Pejabat di Era Digital: Regulasi vs Realita

Sebarkan artikel ini
Etika Pejabat di Era Digital

Sobat, kalian pasti sering dengar berita pejabat yang tersandung kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) kan? Padahal, aturan tentang etika mereka udah banyak banget lho. Kok bisa ya masih pada bandel? Yuk kita bahas bareng-bareng ironi ini.

Regulasi Etika Pejabat Negara Sudah Lengkap

Sebenarnya, Indonesia nggak kekurangan aturan soal etika pejabat negara. Mulai dari UU ASN, UU KPK, Kode Etik PNS, sampai Panca Prasetya Korpri, semua sudah menggariskan rambu-rambu yang jelas. Intinya, pejabat harus jujur, adil, profesional, dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi/golongan.

Bahkan khusus untuk komunikasi di media sosial, Kemenpan RB juga sudah mengeluarkan pedoman. Pejabat dilarang menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan konten negatif lainnya. Mereka harus menjaga kerahasiaan informasi negara dan menyelaraskan unggahan media sosial pribadinya dengan kepentingan instansi.

Realita Masih Banyak Pelanggaran

Nah, meskipun aturannya sudah komplit, faktanya kasus pelanggaran etika tetap banyak terjadi. Menurut data KPK, korupsi terbanyak dilakukan oleh ASN, terutama dalam proses pengadaan barang/jasa. Modusnya macam-macam, mulai dari mark-up harga, suap, sampai konflik kepentingan.

Kasus Korupsi oleh ASN 2019-2021

TahunJumlah KasusPersentase
201912351%
202011155%
20218443%

Selain itu, penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, dan pelanggaran netralitas ASN juga masih sering terjadi. Bahkan di media sosial, tak jarang kita temui pejabat yang blunder karena posting hal-hal kontroversial.

Ilustrasi ASN Korupsi

Mengapa Regulasi Saja Tidak Cukup?

Lalu, kenapa sih regulasi aja nggak cukup buat mencegah pelanggaran etika? Ada beberapa faktor nih:

Baca Juga!  Media Promosi Tepat untuk Produk Konvenien dengan Cakupan Nasional
  1. Kondisi sosial ekonomi yang miskin
  2. Pelayanan publik yang buruk
  3. Kekuasaan yang sewenang-wenang
  4. Lemahnya penegakan hukum
  5. Minimnya lembaga pengawas
  6. Tidak adanya komitmen dan kehendak politik

Selain itu, kurangnya transparansi dan akuntabilitas juga turut mendorong praktik KKN. Kalau sistemnya nggak terbuka dan nggak ada pertanggungjawaban, ya pejabat jadi leluasa dong melakukan pelanggaran.

“Faktor penyebab korupsi itu kompleks, mulai dari individu, organisasi, hingga sistem. Jadi penanganannya juga harus holistik, tidak bisa parsial.” – Laode M. Syarif, Wakil Ketua KPK

Pentingnya Etika Komunikasi di Media Sosial

Di era digital seperti sekarang, etika komunikasi di media sosial juga jadi sorotan. Pejabat sebagai public figure harusnya menjadi teladan dalam beretika. Dasarnya adalah kejujuran, kebenaran fakta, dan niat baik.

Pejabat harus berhati-hati dalam memposting dan menanggapi sesuatu di media sosial. Mereka harus menggunakan bahasa yang baik dan sopan, tidak memprovokasi atau menyinggung pihak lain. Unggahan mereka harus selaras dengan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.

Memang sih, keberadaan medsos juga bisa jadi instrumen pengawasan etika pejabat. Banyak kasus pelanggaran yang terbongkar setelah viral di medsos. Tapi medsos juga rawan digunakan untuk menyerang dan menjatuhkan pejabat tertentu lho. Makanya, literasi digital masyarakat juga perlu ditingkatkan.

Solusi Menegakkan Etika Pejabat Negara

Infografis Solusi Etika Pejabat

Jadi sobat, untuk menegakkan etika pejabat negara di era digital ini, kita perlu upaya komprehensif:

  • Penguatan penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu
  • Peningkatan pengawasan, baik internal maupun eksternal
  • Penanaman nilai-nilai integritas dan etika secara masif
  • Transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan
  • Peningkatan kesejahteraan dan profesionalitas ASN
  • Pelibatan publik dalam mengawasi perilaku pejabat
  • Peningkatan literasi digital masyarakat

Pejabat yang terbukti melanggar etika juga harus siap mundur dari jabatannya dan menerima sanksi sesuai ketentuan. Dengan begitu, kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa dipulihkan.

Kesimpulan

Sobat, regulasi etika pejabat negara yang lengkap ternyata belum cukup untuk mencegah pelanggaran. Masih banyak kasus korupsi, kolusi, nepotisme, dan pelanggaran etika lainnya yang terjadi. Apalagi di era digital, etika komunikasi di media sosial juga jadi tantangan tersendiri.

Karena itu, kita butuh upaya bersama dan terpadu untuk menegakkan etika pejabat negara. Mulai dari penguatan penegakan hukum, pengawasan, penanaman integritas, transparansi, sampai peningkatan literasi digital masyarakat.

Semoga ke depannya makin banyak pejabat yang amanah dan beretika ya. Karena merekalah ujung tombak dalam melayani dan menyejahterakan rakyat. Kalau pemimpinnya berintegritas, insyaallah negaranya juga akan maju.

Gimana sobat, setuju nggak sama pembahasan di atas? Tulis pendapat kalian di kolom komentar ya. Jangan lupa share juga ke teman-teman biar diskusinya makin seru. Sampai ketemu di artikel selanjutnya!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *